I need romance #3 – I would

I would

Author             : Song Euncha

Cast                 : Kim Kibum [Key] SHINee | MinHye ri [OC]

Genre              :  Romance

Rating             : PG 15

Credit Song : Henry Lau – I Would

Malaikat kematian tengah merajut cadarnya di atas langit. Perlahan, menurunkan benang-benang kegelapan ke bumi. Meninggalkan kedukaan bagi ia yang terduduk kaku sambil memeluk gerabah hitam. Ia diam, air matanya telah kering oleh kehilangan itu. Kehilangan sebuah raga yang tergantikan oleh butiran abu dalam gerabah yang ia peluk erat.

“Ikhlaskanlah.” Itu yang ia dengar dari sahabat yang mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir orang yang paling ia cintai.

Ragu. Tapi lantas ia bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki menuju danau kecil yang sepi. Langkahnya terasa berat, dadanya semakin sesak, membayangkan lagi bagaimana serpihan hatinya hilang begitu saja. Lantas air mata itu kembali jatuh, mengiringi langkahnya menuju tempat yang paling disukai si abu.

Ia melangkahkan kakinya lagi, menaiki rakit kecil yang terapung di tepi danau. Mengayuh beberapa saat hingga ia sampai di tengah danau. Tangannya gemetar, menggenggam abu dalam gerabah sebanyak yang ia bisa.  Menaburkannya ke danau. Hatinya perih, seperti teriris. Perlahan, tubuhnya merosot, terduduk kaku di atas rakit. Menaburkan sisa-sisa abu diiringi kesedihan yang mendalam. Bibirnya bergetar hebat, memaksakan diri untuk tidak meledak.

Hari itu malaikat kematian merajut cadarnya, menyembunyikan mentari dan gumpalan awan putih di baliknya. Membiarkan langit menangisi kepergian jiwa itu. Begitu pilu dan sendu.

“Key! Hujan semakin deras!” sahabat yang sedari tadi menunggu di dekat mobil mulai memanggil lelaki itu. Memanggil dengan rasa cemas yang hebat. Takut jika sahabatnya melakukan hal bodoh karena kehilangannya.

Tak ada sahutan. Lelaki yang dipanggil Key itu hanya terduduk kaku di atas rakit, tubuhnya basah, begitu juga abu dalam genggamannya.  Kini ia membiarkan bibirnya mengeluarkan tangisan, seiringan dengan abu terakhir yang ia relakan ke dalam danau. Membiarkan butiran-butiran kecil itu menyatu dan tenggelam dalam air. Melepas jiwa itu dalam damai.

***

Ting

Lonceng kecil yang dipasang di atas pintu itu berbunyi lagi. Menandakan seseorang baru saja masuk. Gadis dengan seragam putih-orange itu melirik jam dinding besar tengah ruangan. Jam 1 siang. Lalu matanya mengikuti arah lelaki yang baru saja masuk. Duduk di kursi paling ujung dekat jendela. Tidak perlu waktu lama, bahkan lelaki itu tidak membuka buku menu. Melambaikan tangannya pada gadis lain berseragam serupa.

Gadis yang tadi mencatat pesanan berjalan ke arah display. “Dua cangkir vanilla latte.” Ucapnya enteng. Lalu berjalan ke arah pelanggan lain yang melambaikan tangan ke arahnya.

Gadis yang sejak tadi memperhatikan segera membuat dua cangkir vanilla latte. Pikirannya mulai bertanya-tanya, mengapa lelaki itu selalu datang di hari yang sama dan memesan minuman yang sama?

Tak lama, temannya yang tadi segera mengantarkan dua cangkir vanilla latte ke meja si lelaki. Meninggalkan lelaki itu dalam privasinya. Si gadis yang sedari tadi memperhatikan kini berbisik dalam hati, mengatakan sesuatu yang kemudian dilakukan si lelaki.

Lelaki itu mengambil sesuatu dari saku dalam jasnya, sebuah buku berukuran kecil, seperti sebuah passport bersampul merah tua. Lantas ia menaruh buku di atas meja, membukanya perlahan sambil mulai menyesap vanilla latte-nya. Lelaki itu tersenyum, sesekali terkekeh, tapi tak jarang ekspresi itu segera berubah menjadi guratan-guratan kaku penuh kesedihan.

Setelah itu, si lelaki akan menaruh buku tadi ke atas meja. Lalu diam menatap keluar jendela hingga sore menjelang. Jika di luar hujan, ia akan menatap orang-orang yang kehujanan sambil menuliskan sesuatu di jendela yang berembun. Tapi jika tidak, ia akan terus menatap keluar jendela hingga kopi dalam cangkirnya habis. Tak pernah mengatakan apa pun dan meninggalkan tempat itu pada pukul 4 sore.

Tes tes tes

Titik-titik air menetes dari langit, dengan cepat mengguyur kota. Beberapa kali lonceng kecil di atas pintu berbunyi. Hingga café dipenuhi banyak orang yang ingin menghangatkan diri dengan secangkir kopi sambil berbincang atau bercengkrama dengan orang tersayang.

Lelaki itu menatap keluar jendela. Memperhatikan orang-orang yang kehujanan, menatap payung berwarna-warni yang melintas di sana. Lalu tangan kanannya terulur ke arah jendela berembun, menulis sesuatu dengan jarinya.

Tak ada kalimat yang terucap, ia beranjak setelah cangkirnya kosong. Membiarkan cangkir satunya dingin tak tersentuh. Berjalan ringan meninggalkan café pada jam 4 sore. Selalu sama.

***

Ting

Lonceng kecil di atas pintu itu berbunyi. Hari Kamis, pukul 1 siang. Lelaki dengan setelan denim dan sweater hitam bergaris navy blue itu berjalan menuju meja paling ujung dekat jendela. Belum sempat ia melambaikan tangan pada pelayan saat seseorang telah menaruh dua cangkir vanilla latte di mejanya. Ia mendongakkan kepala, mencaritahu siapa yang telah membawakan kopi yang bahkan belum dipesannya.

Si lelaki tersenyum kecil melihat gadis berseragam putih-orange yang biasanya hanya berdiri di balik display.

Thanks.” Ucap si lelaki. Lalu menggeser salah satu cangkir ke seberangnya, seolah ada seseorang yang akan datang dan meminumnya.

Si gadis mengerutkan dahi, “Menunggu seseorang?” tanyanya ragu. Lelaki itu hanya mengangguk mantap. “Dia akan datang?” tambahnya lagi. Si lelaki kembali mengangguk. “Tapi ia tidak pernah datang, kan?” tanya si gadis lagi. Gadis itu tahu bahwa pertanyaannya keterlaluan, tapi ia begitu penasaran dengan lelaki yang bahkan aktifitasnya di dalam café telah ia hafal.

Si lelaki kembali tersenyum, “Dia sudah datang.” Ucapnya ringan. Lalu tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku belakang denim-nya.

Gadis tadi menoleh ke segala arah, mencari-cari teman si lelaki yang baru saja datang. Nyatanya, ia tidak menemukan siapapun mendekat ke meja itu. Hanya ia dan lelaki itu. “Dia sudah datang? Tapi, aku tidak melihatnya.” Ucap si gadis penasaran. Selama ini, yang ia pikirkan tentang lelaki itu adalah seseorang yang patah hati dan menunggu gadisnya datang. Oh! atau mungkin gadis itu sudah meninggal? pikirnya.

“Di-di-mana?” tanya gadis itu lagi. Ia melirik ke arah kursi kosong tepat di sampingnya. Membayangkan jangan-jangan di sana ada makhluk kasat mata yang sedang duduk dan tersenyum pada si lelaki.

Lelaki itu menaruh buku bersampul merah ke atas meja, lalu kembali tersenyum. “Kau ingin tahu?” tanyanya tiba-tiba. Meski ragu, tapi si gadis mengangguk pelan. “Duduklah.” Lelaki itu mempersilahkan.

Si gadis tentu saja tidak langsung mengiyakan tawaran itu. Ia melihat ke sekitar, melirik temannya yang sedang berdiri di balik display. Dengan tatapannya seolah mengatakan bolehkah-aku? Temannya mengangguk pelan. Lantas si gadis duduk di kursi yang berhadapan dengan lelaki itu.

Ia diam, menunggu si lelaki menceritakan sesuatu. Alih-alih mulai bercerita, lelaki itu malah memperkenalkan dirinya. “Namaku Key, panggil saja aku Key.” lalu mulai menyesap vanilla latte-nya.

“Namaku-“

“Setiap hari aku menunggunya.”

“Siapa?”

“Gadisku.” Jawab Key singkat, lalu melirik ke luar jendela.

“Tapi dia tidak datang, kan?”

Key menatap gadis itu, lalu tersenyum kecil. “Dia sudah datang.” Membuat si gadis kembali mengerutkan dahinya.

“Di mana? Aku tidak melihatnya?”

Tapi Key tidak menjawab, ia menyesap lagi vanilla latte-nya. Mengabaikan si gadis yang lagi-lagi menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padanya.” ucap Key lagi. Si gadis segera menatap Key, mengerutkan lagi dahinya.

“Maaf ta-“

“Aku ingin mengatakan bahwa aku kalah.”

“Kalah?”

Gadis itu masih menunggu jawaban dari Key, tapi Key membisu. “Oh! cwisonghamnida. Aku akan kembali beker-“

“Bolehkah aku memintamu untuk mendengarkan ceritaku?” Key menahan tangan si gadis yang telah beranjak dari kursi.

Mata mereka kembali bertemu. Sesaat gadis itu merasakan sesuatu yang aneh. Merasa pernah melihat sorot mata berlapis lensa abu itu entah di mana. Sorot mata familiar, seperti seseorang jauh di sana. Lantas si gadis kembali duduk, seharusnya ia tidak boleh melakukan ini saat jam kerja. Tapi toh tak ada yang menegurnya saat ini.

Key menggeser cangkir di hadapan si gadis, seolah menawarkannya.

“Tapi, ini untuk teman Anda, Key-ssi.”

Key tak menjawab, ia kembali menyesap minumannya. “Kau tahu, baru kali ini aku mengalami kekalahan.”

Si gadis hanya diam, menunggu penjelasan lain dari Key.

“Gadis itu yang memenangkan battle ini,” Key lalu terkekeh. Kekehan kecil yang segera lenyap di balik gurat-gurat kedukaan di wajahnya. “Dia, satu-satunya gadis yang membuatku begitu lemah seperti sekarang ini.”

Gadis di hadapan Key diam, ia bisa menangkap apa yang sedang diceritakan Key. “Dia… meninggalkanmu?” tanyanya ragu. Key mengangguk pelan. “Bersama… lelaki… lain?” kali ini Key menggeleng.

Si gadis menghela nafas, “Dia.. pergi bersama Tuhan?” tanyanya ragu, lantas menggigit bibir bawahnya. Key tidak menjawab, membuat si gadis kembali mengerutkan dahinya. “Lalu?” si gadis tetap ingin menuntaskan rasa penasarannya. Atau, mungkinkah lelaki bernama Key ini megidap gangguan jiwa? Pikirnya.

“Tak ada yang pernah membuatku begitu jatuh cinta sekaligus lemah seperti ini,” Key meraih buku bersampul merah, membukanya lalu menatap isinya. “Juga membuatku patah hati seperti ini. Aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan, tapi tidak dengan dirinya. Aku tidak bisa memilikinya lagi.”

“Lagi?”

Key hanya mengangguk, lalu menutup bukunya. Menaruhnya di samping tangan kiri gadis itu. Si gadis melirik buku bersampul merah yang selama ini membuatnya penasaran. Sampul merah dari kulit imitasi itu bertuliskan ‘Memory’ dari tinta berwarna emas. Ditulis dengan huruf sambung bercetak miring. Ia ragu, tapi merasa bahwa Key memang mempersilahkannya untuk melihat isi buku itu. Tangan kirinya bergerak ragu, hendak meraih buku kecil itu.

“Kau tidak boleh melihatnya!” suara Key mengagetkan si gadis. Lalu gadis itu diam.

“Di dunia ini, tak ada yang lebih kuinginkan selain dirinya.” lanjut Key lagi. Si gadis diam, kini ia mulai menerka bahwa Key itu sakit jiwa dengan obsesinya terhadap gadis milik orang lain yang tak pernah bisa ia miliki.

“Tidak berusaha menarik perhatiannya?” tanya si gadis.

“Sudah kulakukan.” Jawab Key enteng. Si gadis lalu mengangkat kedua tangannya sebatas bahu, seolah mempertanyakan bagaimana hasilnya. “Semakin besar usahaku menarik perhatiannya, semakin besar pula luka ini.”

“Hatimu? Kau patah hati?” tanya si gadis. Key mengangguk, memperlihatkan senyum hambar.

“Mungkin ia tidak menyukaimu, Key-ssi.”

“Mengapa?”

“Apanya?”

“Mengapa ia tidak menyukaiku?”

Si gadis tersenyum hambar, karena Key mempertanyakan hal paling bodoh sedunia. Yakinlah sudah bahwa Key adalah lelaki depresi karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Gadis itu hendak bangkit, menyudahi percakapannya dengan Key saat Key kembali menahannya.

“Setiap hari aku mencintai dan merindukannya. Meski itu membuatku sakit dan ketakutan, tapi aku tetap melakukannya. Tapi mengapa ia tidak bisa menyukaiku?” kali ini Key menaikkan intonasi bicaranya, seolah si gadis adalah orang yang paling bertangggung jawab atas pertanyaan Key.

Si gadis mulai ketakutan, “Aku.. tidak tahu… Key-ssi. Maaf, aku tidak bisa membantumu.”

Key menyesap lagi minumannya, berusaha menenangkan dirinya dengan bersandar pada sandaran kursi. “Aku sering melihat banyak orang patah hati, tapi tidak tahu bahwa rasanya begitu menyakitkan.” Terangnya, ia menatap mata si gadis yang terlihat ketakutan.

“Key-ssi, mengapa kau tidak melupakannya saja?” sarannya.

“Jika aku bisa, aku sudah melupakannya. Jika saja aku bisa menghindar darinya, aku akan menghindarinya. Jika saja aku bisa melakukannya, aku akan berhenti mencintainya, berhenti merindukannya seperti orang gila. Jika saja aku bisa melakukannya, aku akan menyerah pada peperangan ini, membiarkan dia jadi pemenang selamanya,” lalu Key menundukkan kepalanya. Menyembunyikan setetes air mata yang membasahi taplak meja. Beberapa klise lama berputar lagi dalam kepalanya, dan itu membuatnya sesak. Sangat sesak seperti mau mati.

“Key-ssi, tenangkan diri Anda. Anda bisa mencobanya pelan-pelan, kan?” sorot mata gadis itu memancarkan rasa iba. Ketakutan yang tadi sempat terlihat mulai menguap. “Kurasa café ini adalah tempat kenangan kalian. Mungkin, Anda bisa berhenti datang ke café ini dan melupakannya. Hemm… maafkan aku. Aku tidak bermaksud tidak sopan.”

Key mengusap air matanya, lalu menatap lagi si gadis. “Kau benar! Ini tempat kenangan kami. Tapi percuma saja, meski aku berhenti mendatangi tempat ini. Rasa sakit itu tidak akan pernah berkurang, tidak akan pernah sembuh, tidak akan pernah membiarkanku bebas.” Terangnya pilu. Membuat si gadis serba salah.

Key menyesap lagi minumannya. Baru menyadari bahwa itu adalah tetesan terakhir. Si gadis menyodorkan cangkir yang ada di hadapannya ke arah Key. Mengisyaratkan pada Key untuk meminum kopi dalam cangkir itu.

Key menggeleng, lalu kembali menggeser cangkir ke hadapan si gadis. “Itu miliknya.”

Sesaat, hanya kesunyian yang menyelimuti mereka berdua. Si gadis merasa bingung. Di satu sisi ia merasa iba pada Key, tapi di sisi lain ia merasa lelaki itu mengalami gangguan jiwa. Tapi, bukankah cinta memang membuat siapa saja yang merasakannya menjadi sakit?

“Key-ssi,” ucap si gadis ragu. “Aku tidak bisa membantu Anda. Tapi setidaknya, berusahalah untuk tidak mengenangnya lagi. Berhentilah untuk datang ke tempat ini setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada jam 1 siang dan pulang pada jam 4 sore,”

Key menatap si gadis, terkejut dengan apa yang diucapkan si gadis.

“Berhentilah memesan dua cangkir vanilla latte seperti yang sering kalian lakukan dulu. Berhentilah menatap buku bersampul merah itu, berhentilah menatap ke luar jendela dan menulis kata ‘I Would’ di jendela yang berembun saat hujan turun.”

Key terus menatap si gadis, menatap ke dalam bolamatanya. Seolah mengatakan sesuatu melalui tatapannya, sesuatu yang menyiratkan harapan kecil. “Kau benar. Aku dan dia selalu memesan vanilla latte di meja ini, melihat ke luar jendela sambil tertawa. Membisu saat hujan turun. Lalu menulis wishes kami di kaca berembun ini, tidakkah ia mengingatnya?” terang Key sendu. “Menurutmu, aku harus melupakannya?”

Si gadis mengangguk pelan.

“Mengapa aku harus melakukannya?” tanya Key. Membuat si gadis jengkel.

“Agar kau tidak merasa kesepian. Berhentilah mengingatnya lagi, Key-ssi. Anda akan semakin terluka jika berjalan di jalan yang sama seorang diri saat ia telah berjalan di jalan lain bersama yang lain.”  Ucap si gadis. Ia tahu ini keterlaluan, tidak seharusnya seorang pelayan café mengatakan hal seperti itu pada salah satu pengunjung setia. Tapi, si gadis hanya tidak suka melihat lelaki yang entah siapa itu terlihat menyedihkan setiap datang ke café ini. Menapaki jalan lama seorang diri.

Key diam, menundukkan kepalanya sesaat. Perlahan, tangan kanannya merengsek, menggenggam tangan kiri si gadis. Gadis itu tersontak dan hendak melepas tangannya dari Key saat ia melihat lelaki itu menangis. Ia urung melakukannya, menatap Key penuh tanda tanya.

“Benarkah begitu?” tanya Key. Si gadis hanya menangguk pelan. Key menganggukkan kepalanya pelan, mengeratkan bibirnya agar tangisan itu tidak pecah.

“Jika aku merindukannya, bolehkah aku datang dan menceritakannya padamu?” tanya Key lagi.

“Anda bisa menceritakannya juga pada yang lain.” Ucapnya.

Key tersenyum meski air mata masih membasahi pipinya. “Jika aku ingin menceritakannya padamu, kau akan mendengarkannya?”

 Si gadis hanya mengangguk. Key menundukkan kepalanya, meremas tangan si gadis lalu mulai terisak. Si gadis jelas tidak mengerti, tapi ia membiarkan lelaki itu menangis sambil memegang tangannya.

“Namaku Min Hyeri, datanglah kapan pun Anda ingin bercerita.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.  Ia tersenyum manis, lalu beranjak setelah Key berhenti menangis.

***

Hujan baru saja reda saat jam menunjukkan jam 4.10 sore. Hyeri melirik meja paling ujung dekat jendela yang baru saja ditinggalkan seorang pelanggan. “Kau rapikan meja yang itu.” Ucap salah seorang temannya.

Ia lantas beranjak dari balik display, berjalan ke meja yang biasa diduduki lelaki bernama Key. Merapikan dua buah cangkir, di mana salah satu cangkirnya masih berisi vanilla latte dingin yang tak pernah disentuh. Hatinya kembali mempertanyakan apa yang sebenarnya dialami Key hingga lelaki itu terlihat begitu menyedihkan, membiarkan salah satu cangkir vanilla latte dingin tanpa disentuh. Bukankah itu pemborosan? Pikir Hyeri.

Buku merah itu tertangkap mata Hyeri saat ia mengelap meja. Buku bersampul kulit imitasi merah dengan tulisan berwarna emas yang ditulis huruf sambung bercetak miring. Hyeri menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang sedang memperhatikannya. Lantas diraihnya buku itu, dengan cepat membukanya, tak sabaran ingin tahu tulisan apa yang membuat Key betah berjam-jam membacanya.

Tapi lantas matanya membulat ketika melihat isi buku itu. Itu bukanlah buku seperti yang ia pikirkan. Itu adalah album kecil berisi sebuah foto. Sebuah foto di mana ada lelaki dengan tuxedo hitam berdiri begitu gagah di samping gadis dengan gaun putih yang cantik. Ia tahu, lelaki itu adalah Key. Key tesenyum dalam foto, senyum bahagia yang tidak pernah Hyeri lihat setiap kali Key datang ke café. Lantas mata Hyeri menatap sosok gadis yang telah membuat Key kalah. Ia diam, tapi kemudian terkekeh pelan. Bagaimana bisa wajah gadis itu sama dengannya? Sama persis, hanya saja gadis itu lebih cantik darinya. Mungkin itulah sebabnya Key menceritakan ini padanya, karena Hyeri memiliki rupa yang sama dengan gadisnya.

Hyeri lantas memasukkan album foto itu ke dalam celemeknya. Akan mengembalikannya pada Key jika lelaki itu datang padanya suatu hari nanti dan akan mengatakan bahwa ia ikut berduka atas kehilangan yang dialami Key. Ia lalu kembali mengelap meja, berjalan sambil membawa baki berisi dua buah cangkir.

***

“Key! Hujan semakin deras!” Jonghyun berteriak dari dekat mobil. Ia segera mengambil payung dari dalam mobil meski badannya telah basah oleh hujan. Memayungi dirinya dan tetap berdiri di dekat mobil menunggu Key.

Tak lama, Key mengayuh rakitnya dan tiba di tepi danau. Setengah berlari menghampiri Jonghyun. Keduanya masuk ke dalam mobil. Sunyi. Jonghyun tidak bisa memulai percakapan yang bisa membuat Key tenang setelah kehilangannya. Sahabatnya terlihat begitu kacau dengan tubuh basah kuyup dan mata sembab.

Ponsel Jonghyun berbunyi, memunculkan sebuah nama di sana. Ia lantas berbicara dengan seseorang di seberang sana. Lalu memutusnya dengan cepat.

“Key, kita harus ke rumah sakit sekarang. Hyeri sudah sadar.” Terang Jonghyun antusias.

Key terlonjak, ia tentu saja merasa senang. Setidaknya, harapannya yang lain akan tetap membuatnya bertahan hidup. Lantas Jonghyun segera menginjak gas, melesat menuju rumah sakit.

Key berlari secepat yang ia bisa, mengabaikan orang-orang yang melihatnya aneh karena tubuhnya yang basah kuyup. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi untuk bertemu istrinya. Ia ingin memeluknya, menciumi istrinya, mengatakan padanya bahwa ia sangat senang karena istrinya selamat dari kecelakaan yang merenggut nyawa eomma-nya. Langkahnya terhenti di depan kamar rawat Hyeri. Dokter dan seorang perawat baru saja keluar.

“Kibum-ssi,” panggil sang Dokter. Sorot matanya meredup.

“Istriku sudah bangun? Ia baik-baik saja? boleh aku menemuinya?” tanya Key tak sabaran. Dokter dan perawat itu saling berpandangan, menyiratkan sesuatu yang buruk. Lantas sang Dokter menarik Key menjauh dari kamar rawat Hyeri.

“Aku ingin menemui istriku, Seosaengnim.” Ucap Key. Ia tahu sang Dokter akan mengatakan sesuatu yang tidak menyenangkan.

“Kibum-ssi, istri Anda mengalami amnesia karena benturan keras di kepalanya. Ia tidak melupakan semua hal dalam hidupnya, tapi ia melupakan beberapa hal yang pernah terjadi.”

Key sempat terdiam, menerka seberapa buruk amnesia yang dialami Hyeri. Apa istirnya akan melupakan hari-hari menyenangkan mereka selama tiga tahun ini? pikirnya. “Berapa lama hingga ia bisa kembali mengingatnya? Berapa banyak hal yang ia lupakan?” tanya Key takut.

Dokter diam, seperti tengah berpikir. “Ia bisa saja dengan cepat kembali mengingat apa yang telah ia lupakan, tapi,” Dokter menggantungkan kalimatnya, menatap Key penuh iba. “Tapi bisa saja ia tidak akan pernah bisa mengingat lagi apa yang telah ia lupakan.”

Key kembali diam, berpikir apa yang selanjutnya akan terjadi. “Berapa banyak yang ia lupakan?” tanyanya lagi. Dokter diam. “Aku akan menemuinya.” Key tak sabaran, lalu melangkah meninggalkan Dokter.

Sang Dokter menahan langkah Key, menatap lelaki itu dengan sorot mata redup. “Kibum-ssi, kuatkan dirimu,” ucapnya sambil menepuk bahu kiri Key. “Dia… dia tidak ingat dirimu.” Dokter melanjutkan, meninggalkan kedukaan besar bagi Key. Lantas sang Dokter melangkah meninggalkan Key seorang diri.

Lelaki itu kembali menangis, menangis dalam sunyi. Tubuhnya merosot. Ingin rasanya berteriak dan marah pada Tuhan. Tapi, yang bisa ia lakukan hanya menangisi takdir seperti orang bodoh.

“Key jangan seperti ini.” Jonghyun telah berdiri di hadapannya. Memaksa Key untuk bangkit dan tegar. Tapi Key tetap menangis, membiarkan Jonghyun menarik tubuhnya.

“Apa yang harus kulakukan?” Key mempertanyakan hal bodoh itu. Ia begitu lemah, tak siap menghadapi kenyataan yang pahit ini.

“Key, yang perlu kau lakukan hanya menjalaninya.” Jonghyun berusaha menghibur Key.

“Tidak bisa, Jjong. Tidak bisa.” Bisiknya pilu.

***

Key diam di depan pintu kamar rawat Hyeri. Ia menguatkan lagi hatinya untuk tidak menangis di depan gadis itu. Ia dan Jonghyun telah membuat skenario pendek. Key melepas jas hitamnya, mengapitnya di lengan kiri. Lantas membuka dua kancing teratas kemeja putihnya. Merapikan rambut seadanya.

Tok tok tok

Ia mengetuk pintu. Tak ada sahutan, lantas memberanikan diri membukanya sedikit. Jantungnya berdebar hebat, tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti saat melihat sosok itu. Key membuka pintu lebih lebar saat melihat gadis yang duduk bersandar di ranjang menatapnya bingung. Mengumpulkan keberanian, lalu masuk ke dalam kamar.

“Selamat sore.” Sapa Key ramah. Ia merasa aneh, tapi lantas menghampiri Hyeri.

“Selamat sore…hemm… Anda…” gadis itu menatap Key bingung. Matanya lantas melirik pintu, seolah mengharapkan seseorang datang. “Anda Dokter?” tanyanya polos.

Key memejamkan kedua matanya, dadanya sesak, hatinya perih. Hyeri benar-benar tidak mengenalinya. Benarkah Hyeri tidak menganalinya? Sekuat tenaga ia menahan air mata, melanjutkan skenarionya. “Kau tidak mengingatku?” tanya Key, memasang tampang sok kenal.

Hyeri diam, menatap bola mata berlapis lensa abu Key beberapa saat lalu menggeleng. “Anda Dokter?” tebaknya lagi.

Key diam, lalu menarik kursi dan duduk di sana. “Oh! Aku asisten Dokter. Kita pernah bertemu saat kau masuk ke mari,” Hyeri kembali menggeleng, seolah mengatakan bahwa ia tetap tidak bisa mengingat siapa Key. “Gwaencanha. Mari kita berkenalan lagi. Namaku Kim Kibum, siapa namamu?” Key mengulurkan tangan kanannya untuk berjabatan, sementara bibirnya bergetar hebat. Menahan kepiluan yang semakin menjalari hatinya.

Meski bingung, tapi Hyeri tersenyum kecil. Menyambut uluran tangan Key. “Namaku Min Hyeri, umurku 18 tahun. Senang bertemu dengan Anda, Dokter.” Terangnya riang.

Key tersenyum tipis di tengah kedukaannya. Gadis itu melupakan begitu banyak hal. Ia melupakan 5 tahun terakhir hidupnya. Melupakan bahwa usianya 23 tahun, melupakan Key, melupakan pernikahan mereka. Key diam, lalu menundukkan kepalanya. Bagaimanapun, air mata itu tidak dapat ia tahan. Saat ini, ia adalah lelaki lemah yang hanya bisa menangisi takdir.

“Anda sakit?” tanya Hyeri. Key menggeleng, kepalanya masih tertunduk.

“Apa aku perlu memanggilkan Dokter?” tanya Hyeri bingung.

Key mengangkat kepalanya, menatap Hyeri sambil mengusap air matanya kasar. Lalu menggeleng cepat. “Gwaencanha.”

Hyeri diam, menatap Key dari ujung rambut hingga kaki. Lelaki itu terlihat kacau, tubuhnya terlihat basah, mata dan hidungnya memerah. Sebagai asisten Dokter, lelaki itu tidak membawa apa pun, pikir Hyeri. “Anda tidak sakit? Kenapa menangis?” tanya Hyeri polos, ia benar-benar kembali pada usianya 5 tahun lalu.

“Karena aku senang kau sudah bangun.” Ucap Key dengan bibir yang bergetar.

Hyeri kembali diam, menatap Key penuh tanda tanya. Sedikit ragu, Hyeri menanyakan sesuatu. “Anda… menyukaiku?” tanyanya polos, wajahnya menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.

Key tersenyum meski air matanya kembali jatuh tak terkendali. Ia mengangguk keras, tangan kanannya terulur dan mengacak rambut Hyeri. “Sangat menyukaimu.” Ia terus mengacak rambut Hyeri sambil memaksakan diri untuk tersenyum.

Hyeri membiarkan Key mengacak rambutnya. Merasakan kehangatan dari tangan yang dingin itu. Ia menunduk sesaat, lalu tersipu malu. “Gomawo.” Ucapnya singkat. Lantas tersenyum malu menatap Key. Seperti remaja yang baru saja mengatahui bahwa ia memiliki seorang penggemar tampan.

***

Lelaki itu berjalan menyusuri trotoar yang cukup ramai, lalu berhenti di depan sebuah café. Ia diam, memperhatikan seorang gadis yang berdiri di balik display dalam café. Ia melakukannya setiap hari, hanya untuk meyakinkan bahwa gadis itu baik-baik saja.

Ia akan masuk ke dalam café pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada pukul 1 siang. Membayar diam-diam pada pemilik café untuk selalu mengosongkan meja paling ujung dekat jendela. Lalu memesan dua cangkir vanilla latte, membiarkan satu cangkir dingin tak tersentuh.

Ia melakukan itu selama dua tahun ini, berusaha menarik perhatian gadis yang selalu berdiri di balik display. Menunggu gadis itu menghampiri dan menaruh pesanannya ke atas meja.

Pemilik café dan semua pegawainya tahu bahwa lelaki itu tengah menanti kekasih hatinya kembali. Semuanya tahu itu, kecuali si gadis yang selalu berdiri di balik display.

Americano dan Cappuchino.” Gadis lain menaruh dua buah cangkir di meja tak jauh dari tempat lelaki itu duduk. Menyodorkan masing-masing cangkir pada wanita berambut panjang hitam dan lelaki jangkung bermata besar.

Agassi, sepertinya aku pernah melihat lelaki itu beberapa kali di sini. Ia terlihat aneh, apa ia sakit?” tanya wanita berambut panjang. Si gadis melihat arah yang ditunjuk.

“Dia sedang menunggu kekasihnya.” Jawab si gadis enteng.

“Kekasihnya sudah meninggal?” tanya wanita itu penuh rasa penasaran.

SI gadis terkekeh kecil, “Pernah dengar cerita ini?” tanyanya. Pasangan kekasih di hadapannya diam, saling memandang tak tahu. Lantas si gadis pelayan café duduk di kursi kosong di antara keduanya. “Lima tahun yang lalu, seorang gadis bekerja sebagai pelayan café ini. Usianya sudah 20 tahun saat ia sering memperhatikan lelaki yang datang setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada pukul 1 siang,”

Sepasang kekasih itu menyimak seksama, rasa penasaran mereka semakin besar. Si gadis pelayan café melanjutkan, “Pekerjaannya hanya berdiri di balik display dan membuatkan pesanan, tapi lelaki itu menarik perhatiannya. Maka, pada suatu hari ia mengantarkan pesanan si lelaki ke mejanya. Mereka mulai mengobrol dan berkenalan. Lelaki itu juga tertarik pada si gadis,”

“Lalu?”

“Lelaki itu jadi datang setiap hari, memesan minuman yang sama dan si gadis akan mengantarkannya.”

“Mereka menikah?” tanya lelaki jangkung bermata bulat.

“Mereka menikah dan sangat bahagia. Kudengar dari para pegawai lama café ini, tak ada yang pernah sebahagia gadis itu. Keduanya selalu datang ke café ini pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pukul 1 siang dan pergi pada pukul 4 sore. Berbincang hangat sambil memperhatikan orang di luar jendela, mereka juga sering menuliskan sesuatu di jendela yang berembun jika hujan turun.”

“Gadis yang beruntung.” Komentar wanita berambut panjang.

“Lalu, kenapa dengan lelaki itu?” si mata bulat kembali mempertanyakan topik utama mereka.

Gadis pelayan café mendesah, lalu berbisik. “Ia menunggu kekasihnya mengingat pertemuan mereka dan mengulanginya lagi.”

Lelaki bermata bulat itu melirik lelaki yang sedang mereka bicarakan. Lelaki yang mengenakan denim dan sweater hitam bergaris navy blue.

“Kekasihnya hilang ingatan?” tanya wanita berambut panjang. Gadis pelayan café mengangguk lesu.

“Kecelakaan lalu lintas. Ibu mertuanya meninggal, sementara ia mengalami amnesia. Kehilangan lima tahun terakhir ingatannya sebelum kecelakaan. Yang artinya ia melupakan lelaki itu, juga pernikahan mereka.” Terang gadis pelayan café pilu.

“Sudah berapa lama lelaki itu menunggu?” tanya lelaki bermata bulat.

“Dua tahun.” Jawab si gadis.

Sesaat mereka diam, wanita berambut panjang bahkan mengusap air mata yang tanpa permisi jatuh dari kedua matanya.

“Lalu, adakah di café ini gadis berusia 20 tahun yang berdiri di balik display dan membuat pesanan?” tanya lelaki bermata bulat, memecah keheningan.

Gadis pelayan café tersenyum kecil sambil mengangguk. Ia lantas bangkit dari kursi dan meraih lagi baki yang sempat ia taruh di atas meja. Membuat pasangan kekasih di hadapannya diliputi rasa penasaran hebat.

“Itu dia orangnya. Gadis itu akan mengatakan usianya 20 tahun.” Gadis pelayan café menatap ke arah lelaki yang mereka bicarakan. Pasangan kekasih yang sedaritadi penasaran segera mengikuti arah yang ditunjuk. Mereka memperhatikan gadis dengan seragam putih-orange yang baru saja menaruh dua cangkir berisi vanilla latte ke atas meja si lelaki.

Si lelaki terlihat pura-pura terkejut, lalu tersenyum. “Thanks.” Samar-samar pasangan kekasih itu mendengar apa yang diucapkan si lelaki. Lelaki dan pelayan itu lalu mulai berbicara, si pelayan sempat terlihat bingung sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tapi tak lama, ia duduk di kursi di hadapan si lelaki.

If I could just get over you I would
Don’t wanna love you anymore
And missing you is like fighting a war
It’s a battle I’m losing
And I’d give up girl if I could
If I could walk away as easily as you I Would

=FIN=

Maaf geje dan alur membingungkan ^^v

26 thoughts on “I need romance #3 – I would

  1. dah lama bngt ga mampir sini…

    masih blm kerasa romance nya nih..
    cmn kerasa sad story di ending..
    dan penasaran sama yg bakal terjadi selanjutnya^^.
    di tgg cerita lanjutannya y cha^^ fighting

  2. eon, aku ga bisa menyimpulkan ini sad ending atau happy ending._._. tapi aku suka ceritanya, alur maju mundur tapi ga memusingkan.
    daaaaan ceritanya cukup menipu! knp aku bilang gitu? gini, awalnya kupikir yg meninggal itu istrinya key, jadi ceritanya key adalah duda yg kesepian trus ketemu sama cewek yg identik banget sm istrinya-_- baru mudeng pas flashback lagi tenyata yg meninggal ibunya key, istrinya malah amnesia.
    padahal aku udah sempet mikir ‘yaaah ff euncha eonni kok sinetron indo gini sih? ga biasanya-_-‘ mwehehe ternyata aku sotoy, mian mian miaaaan~ :mrgreen:
    naisseu eon~!! ^^

    • .hhu. iyh Mahdaa, ini emang ending-nya agak geje gimana gitu ^^v
      syukurlah tapi kalo alur maju mundurnya ga bikin pusing 😛

      .hhe. wah, ada yang ketipu nih sama ceritanya.
      duh! jgn sampe aku bkin ff khas sinetron indo.hhe.
      Makasih yh udah baca 😉

  3. alurnya maju mundur ya. ky novel. klo gak merhatiin bener2, bakal gak tau itu flashback apa bukan

    keren

    awalnya aku mikir yg meninggal itu kekasih/istri key, hyeri, trnyata ibu mertuanya.
    trus td jg smpt mikir ngaco. mgkn hyeri reinkarnasi. hahahahaha
    tp smpt bingung pas hyeri merasa kenal sama mata key saat dia mandang ke mata key.

    nah pas flashback di tgh cerita itu baru ngeh. jd hyeri yg di cafe itu emang istrinya key. n key emang tau sm hyeri, n key ke cafe itu justru buat memastikan hyeri baik2 aj.

    pas awal2 yg di kafe itu bkin ngakak jg. mulai dari hyeri yg ngira tmn key itu sosok makhluk kasat mata smpe dikira punya gangguan jiwa. hahahahaha

    eh ini bakal ada lanjutannya?
    klo ada, ditunggu 🙂
    fighting ^^9

    • duh, maaf yh bikin pusing alurnya rada2 geje gimana ^^v

      iya, awalnya memang rada menipu. biar readers-nya emosi *getok*
      hemm.. lanjutan yaa? ga ada kayanya ^^v
      makasih udah baca 😉

  4. Aduuh onnie,aku bingung bacanya.. Kyknya lagi ga konek ni otaknya..haha
    Tp garis besarnya sih aku ngerti. Kasian abang konci nunggu Hyeri sembuh ampe 2 taun. Tiba-tiba kebayang film The Vow yg ceritanya cewenya amnesia tp suaminya tetep setia walaupun istrinya sampe akhir ga kembali ingatannya.. Sediiihh T__T

    Okedeh lanjut ff abang konci selanjutnya.. 😀

    • waduh, emang rada bingung ko ini alur ceritanya. jadi wajar kalo bingung juga bacanya ^^v
      Wah, The vow yaa? aku baru denger. kayanya seru tuh buat ditonton, bakalan nangis bombay gmna gitu.

      makasih yh udah baca 😉

  5. Eonni, Momo imnida.
    Akhirnya blognya di buka lagi, terimakasih eonni, akhirnya momo punya hiburan di saat liburan ^O^
    ohya, back to topic. Hyeri kasian eon.orang tuanya dmn? kok nggak ada yg ngingetin siapa itu hyeri, lahir tahun brp? kan biasanya di gituin sama dokternya. tp gpp deh eon, nti kalo ada yg ngingetin, ceritanya bakalan beda lagi, huahaha!

    • Hai Momo 🙂 Iya nih, akhirnya blog dibuka lagi. Makasih yh udah sering2 mampir ke sini 😉
      .ekekek. untuk tujuan plot, itu tidak diceritakan. Agak ga logis mungkin yaa? Tapi kan di drama2 juga suka begitu. yang penting aku g bikin Indonesia bersalju ajaa? eh, tapi Indonesia juga pernah turun salju yaa kalo g salah dulu? .hhe. *omongan gaco*
      Makasih Momo sudah baca 😉

  6. haiii Euncha..
    ada beberapa ff romance buatanmu yang saya lewatkan, maaf bukannya gk mau baca, tapi sempetin baca yang teratas dulu…

    agak ketipu di awal, tapi lama2 ngerti..

    menurut saya ini gak terlalu romance spt yg lain, hanya sebuah kisah cinta sejati yang tidak padam antara Key-Hyeri..
    Key sabar banget mau nunggu sampai ingatan Hyeri kembali, gak menutup kemungkinan kisah cinta mereka mulai dari awal lagi ya..
    padahal udah ngeliat foto2 kenangan mereka, tapi ingatannya Hyeri gk kepancing jg.. -__-

    kalau untuk saya ceritanya mengharukan dan cukup sedih kalau orang yang kita cintai melupakan kita..

    ahhh bingung mo komen apa lagi, tapi saya suka cerita romance ini Euncha… 🙂

    • Hai eonni 😉
      iya eonn, gpp ko. lagian romance-nya masih rada2 abal sedikit.hhe.

      iya, kata pembaca yang lain pun romance-nya memang ga kerasa. Mohon dimaafkan yaa *bow*
      Makasih loh eonni udah baca ff-nya 😉

  7. annyeong, eonn. mian karena baru sekarang commentnya…

    kayaknya bner comment2 yg lain kl kali ini romancenya g seromantis yang lalu, tapi bagi Bella perasaan yang ingin disampaikan cerita ini dapat banget, kok. sampai mewek bacanya ga tau kenapa. Key-nya sediiiih…. kalo aja mmg ada cowok kyk gt di dunia nyata.

    mmg agak sulit dibayangkan Key membiarkan Hyeri lupa gt aja ama dia, bukanny mengatakan sejujurnya ttg hubungan mereka, ttg keluarga yg udh mereka bangun. dan lebih aneh lagi orang2d skitar Hyeri gadak yg ngasih tau. masa gadak pelayan cafe yg g sabar ngeliat key nunggu hyeri ingat sendiri selama dua tahun lamanya? *gregetan jadinya

    btw, feel ceritanya ttp dapet kok, eonn… tapi kali ini gadak pikiran ‘I need a romance like this’ tapi yang muncul adalah pikiran ‘I need a man like him’

    kekekek

    keep writing, eonn!

    • Hai, Bella. .hhe. iya nih, romance-nya sangat gagal di sini *bow*
      .hahah. Kalo Key yang asli kayanya bakalan maksa cewenya buat inget dia yaa? .kekeke.
      .hhe. iya, I need a man like him banget deh, Bella.
      Gomawo yaa udah baca 😉

  8. Wah,ni romance tp koq bkin sedih y? Alur critanya bgus, g bkin bgung! Awalnya bneran nipu.. Ta kra tdinya mau kyk film thailand yg judulnya miss you, dsitu si pacar jg ska nggu cweknya dikafe dg msen minum kopi 2,tp yg satu tetp utuh! Tp itu bkn romance movie,tp horor! Hehe..
    Key sabar bgt nggu hyeri, g dragukn lg lo key emg kyk gt krakternya, Q pzti bhagiaaa bgt! (emg siapa elo?!!#PLAKK)
    Hyeri cpet jtuh cinta lg y ma key, wlaupn endingnya agk gntung, tp tetp bgus kq!
    Two thumb dch wat eun cha.. 😉

    • Kayanya film Thailand yang miss you itu seru yaa, Sisca? Wah, aku jadi pengen nonton nih.hhe. makasih yah buat sarannya.

      Iya nih, ff ini cuma menceritakan kesetiaan Key aja nungguin Hyeri sampe ingetan Hyeri balik lagi meski di akhirnya digantungin, ga tau Hyeri inger lagi apa ga.hhe.

      Gomawo sudah baca 😉

  9. Hummin sama i would ini duluan yg mana yaa??
    Aku stuju sama Aeri-ssi, yg ini romance nya kurang berasa…
    Awalnya sedih..asli sedih…hmpir nangis tp krn lg dkantor g jadi xD aku sama dg yg lain, trtipu sama ff ini…kirain yg meninggal istrinya key. trus gadis playan cafe org yg mirip istri key…trnytaa…

  10. dikirain hyeri nya yg meninggal. ternyata ibu key nya. ceritanya udh ketebak ditengah cerita. kasihan bgt ya uri kibum… tp kenapa key gk berusaha mengingatkan isterinya?

  11. Awal baca kirain Hyeri meninggal dan Key yg sangat terpukul kehilangan Hyeri…hahaha ternyata bukan?! XD
    aku sempet horror bacanya, Key pesen dua cangkir vanilla latte trus yg satu ga diminum??!,,ternyata itu untuk gadisnya Hyeri yg hilang ingatan (yg sekarang jd pelayan cafe) kekeke~
    Key frustasi banget yahhh.. *pukpuk* sediihh~

    Suka banget kata2nya ka euncha, iya alurnya bagus ga bikin bingung juga dr awal ke akhir nyambung Keren Perfect dah ka tulisannya 🙂

  12. pertamanya bingung… dikira itu Min Hyeri yg mninggal, trnyata bukan . kasian banget Key nunggu Hyeri tapi Hyeri-nya gak tau, bahkan hilang ingatan.. gk ingat kejadian 5 tahun trakhir.. ckckck 😀 keren keren… romance sad yg di kemas dengan bagus 😀 ^^;;;

Leave a reply to Song Euncha Cancel reply